Laporan Dosa Kantor DPR (π)
R-18 warning ⚠️ 
MafuSora, but Soraru caught smoking on the balcony in the middle of the night, and some hot scenes grrhhh.
---------
Rembulan kali ini bersinar terang, ditemani dengan gumparan bintang yang membentang acak di hamparan gelap di atas sana. Bersamaan dengan itu, angin dingin bertiup kencang, menyusuk kulit porselennya meski dibaluti dengan sweater tebal. Udara malam memang selalu tidak main-main.
Soraru lantas merogoh sakunya, mengambil sebatang rokok dan menyalakan puntungnya dengan korek api. Dengan tubuh yang bersandar pada pagar balkon, pria raven itu menghisap nikotin tersebut dan menghembuskan asapnya ke udara. Mengamati kabut kecil tersebut yang perlahan memudar tertiup angin.
"Ah, lagi-lagi aku ingkar janjinya ya..."
Gumamnya pelan. Kalau saja si pria albino itu memergokinya sekarang, mungkin berbagai ocehan panjang kembali dilontarkan olehnya. Lalu bungkus rokok yang ia pegang tersebut langsung dibuang begitu saja dari balkon.
Meski begitu, Soraru mengerti. Bukankah itu tanda bahwa pria tersebut benar-benar sayang sampai mencegahnya berbuat hal sedemikian rupa? Sudah gitu gaya bahasanya selalu terdengar begitu lembut ketika berbicara, siapa juga yang tidak akan jatuh cinta coba?
Tapi tetap saja. Semakin tenggelam dalam hal tersebut justru membuat Soraru semakin merengut kesal. Padahal ia juga butuh waktu buat merilekskan pikirannya.
Namun peduli apa, Soraru saat ini hanya ingin melepas penat. Namun suasana kota yang masih begitu gemerlap hanya membuat pedih matanya yang sama sekali tidak bisa di bawa mimpi itu. Belum lagi suara-suara yang masih bergema di larut malam begini. Tokyo tidak lain hanyalah penambah beban pikiran.
Lantas, Soraru mengambil sebatang rokok yang masih ada di bibirnya yang kemudian ia buang pada asbak yang berada di meja kecil di sebelahnya. Pria itu baru saja merogoh batang kedua dan hendak menyalakannya sebelum seseorang datang memanggilnya dari belakang.
"Ah, pantas kamu tidak ada di manapun saat kucari tadi, ya..."
"Hk...!!" Pekik Soraru terlonjak kaget hingga nyaris melepaskan bungkus rokok di tangannya. Buru-buru ia membalikkan badan sembari berusaha menyembunyikan bungkusan tersebut dalam dekapan. "Ka-kau kemarin bukannya bilang bakal pulang lambat hari ini?"
"Memang, kan?" Pria albino itu, Mafumafu, hanya mengusap-usap lehernya sembari melemparkan tatapan keheranan. Langkahnya maju perlahan hingga ia berdiri di sebelah sang raven. "Dan pas aku pulang, sudah hampir jam 1 pagi. Apa kau segitu nyamannya sampai lupa mengecek jam?"
Soraru tak banyak merespon, justru menghindari tatapan sang lawan bicara dengan fokus mengamati seluk-beluk kota dengan wajah yang tampak merengut. Bungkusan rokok terselip jelas di antara kedua tangannya yang terlipat bersandar pada pagar balkon. "Hmph... setidaknya kau bisa saja kan bunyikan bel tadi, agar aku bisa bukakan pintu untukmu..."
"Ah, Soraru-san biasanya suka lama membuka pintu meski sudah ditekan beberapa kali," seraya mengamati merek bungkus rokok yang kini familiar, kali ini nada bicara Mafumafu terdengar begitu menginterogasi. "Kau mengambil uang dari laci lagi, ya?"
Hanya keheningan yang menjadi jawabannya, enggan untuk menyangkal meski sudah tertangkap basah. Seolah menganggap sepele hal tersebut, Soraru melirik si albino dengan tatapan datar. "...akan kuganti nanti."
Hah, mudah sekali ia bilang begitu. Apa ia akan mengatakan hal yang sama kalau uang yang ia banggakan itu perlahan-lahan harus lenyap demi nyawa yang tak bisa diperbarui dengan kertas bernilai?
"Bukan itu yang mau kudengar," sanggah Mafumafu cepat. Tangan kirinya sekilas mengenggam erat pagar balkon kala badannya membungkuk maju, hanya beberapa sentimeter dari wajah porselen sang kekasih. "Bangun tengah malam hanya untuk merokok, sudah berapa kali kubilang itu bahaya untuk dirimu sendiri, kan?"
"Memangnya kau paham apa soal tekanan kerja?" Senyuman getir lolos dari bibir Soraru. Entah dari mana keberanian itu hingga ia nekat menyalakan rokok kedua dan mengembulkan asapnya di depan sang albino. "Kalau kau kemari hanya untuk memarahiku, aku sangat mempersilahkanmu untuk keluar."
'Justru karena aku peduli padamu, tahu!' Ucapan sama yang biasa ia lontarkan, tapi kalimat itu tak keluar dari mulutnya saat ini. Percuma saja ia berkoar-koar tengah malam, jika nasehatnya sama sekali tak sampai ke telinga sang raven. Soraru si keras kepala selalu tahu cara menguras emosinya.
Bahkan jika mengamati dirinya yang sekarang, sosok porselen yang dibaluti surai raven itu tak beda jauh dari boneka usang yang membusuk begitu disentuh sampah dan dosa kehidupan. Sepasang netra safir itu redup dengan rona merah samar yang menghiasi bagian putih matanya. Bibir ranum yang dahulunya begitu mengilap kini tampak kering di permukaannya.
Walau wajah itu masih bisa disembunyikan lewat make-up, namun sosok yang cerah itu tak lagi bersinar seperti dahulu.
Belum sampai situ, Mafumafu terkadang harus terbangun tengah malam hanya karena suara batuk sang kekasih yang semakin memburuk. Sungguh ironi bahwa uang yang ia kumpulkan di laci untuk membeli obat malah Soraru diambil begitu saja demi penyakit yang sama. Dan Soraru masih berpikir hanya dirinya saja yang lelah? Egois sekali.
Tentu, Mafumafu hanya bisa memendam amarah itu dalam lubuk hatinya. Ia sudah terlalu lelah untuk menyampaikan kalimat yang tak lagi bermutu itu. Pandangannya hanya fokus menatap wajah tenang Soraru yang sibuk pada dunia di benaknya.
Apa seburuk ini hubungan yang telah mereka pertahankan bertahun-tahun ini?
"Apa? Jangan tatap aku begitu, tahu," ketus Soraru menoleh padanya, rokok ketiga terhimpit di antara kedua sisi bibirnya. "Aku nanti juga bakal tidur, kok. Kau bisa duluan saja."
"Justru karena suara batukmu aku tidak bisa tidur, tahu," Ujar Mafumafu memutar bola matanya malas. "Sudah begitu nafasmu bau rokok lagi."
"Hah!? Kau disini cuma untuk mengejekku doang?!"
"Habis, kamar kita jadi bau gara-gara asap rokokmu, loh."
"Salah sendiri yang lupa pakai pengharum ruangan."
"Sekarang malah salahku?"
"Ahh bawel...!"
Tak ada balasan lagi yang datang dari sang raven. Pria itu justru menggembungkan pipinya memalingkan wajahnya kesal, lagi-lagi mengembalikan suasana canggung seperti sedia kala. Kalaupun ada suara, itu pun hanya suara batuk Soraru.
Sepasang manik crimson Mafumafu menyipit ketika mengamati jemari sang raven yang mengapit batang rokok baru dari bungkusnya. Segera, ia menyambar segala barang yang ada di genggaman Soraru. "Cukup, itu sudah banyak."
"Apalagi, sih?" Decak Soraru, berusaha merebut kembali rokoknya.
Mafumafu justru tak banyak mengelak, tangan kirinya langsung meraih wajah sang raven dan menampung kedua pipinya di antara jemari tangannya. Menuai kebingungan yang melanda benak Soraru.
"H-hah, apa maksudmu ini, Mafumafu??"
"Kau tak pernah sadar kalau bibirmu makin pecah-pecah, ya?" Tutur Mafumafu mendekatkan wajahnya pada Soraru, hidung mereka saling menyentuh satu sama lain.
"Ukh, terus apa masalahnya?"
"Jelas-jelas kau tak bisa merawat dirimu sendiri, tahu."
"Kan bisa kututupi pakai lip balm."
"Percuma saja kalau kau merokok terus."
"Kau bahkan tak pernah merokok, memangnya kau tahu apa?"
"Tsk...!"
Ahh, menyebalkan! Dasar keras kepala! Sampai kapan kesabarannya harus diuji seperti ini?
Nampaknya memang sudah tak ada pilihan lain daripada ini.
"Mmghh—!!"
Tanpa aba-aba, Mafumafu langsung menerjang maju, membungkam mulut Soraru dengan bibirnya. Sang raven yang tak sempat bereaksi mencoba melepaskan diri dari dekapan si pria albino, namun sensasi basah lidah Mafumafu yang memberontak masuk seolah menyerap semua tenaganya. Tak butuh waktu lama bagi Soraru untuk akhirnya tenggelam ke dalam birahi.
"Hnngh, mmh–!! Ah-mmfh...!!"
Mengabaikan erangan tersebut, Mafumafu justru semakin beringas. Taringnya bergerak untuk mengigit bibir sang raven, diikuti dengan lumatan di sekitar permukaannya yang kering. Menggantikan rasa pahit nikotin dengan manisnya gairah.
Tak hanya menggempur mulutnya, tangan kekar si albino pun ikut bertingkah. Menyingkap ujung sweater, perlahan-lahan jemari tajam tersebut merayap di balik sweater tebal Soraru lalu menyentuh garis tulang punggungnya. Sentuhan lembut yang menyengat membuat pria raven itu semakin terangsang.
"Ngh! Mmffuuuhh–!! Mmmhhf— fuahh!!"
Pria albino itu pun akhirnya melepas ciuman itu ketika Soraru berhasil mendorong bahunya kuat. Jaraknya memang tak seberapa, namun setidaknya memberikannya ruang untuk bernafas kembali.
Soraru tampak begitu tersengal-sengal meraup segala oksigen yang ada, matanya yang sayu menatap pria albino di hadapannya. Ia pikir dengan penampilan seperti ini, Mafumafu akan menghentikan sesi ciuman itu begitu melihat kondisinya.
Namun dugaan Soraru salah.
"Ahh, hahh... T-tungguuhhh... hah, Mafuhh–mgffhhh!!??"
Ia bahkan tak diberi waktu untuk selesai mengambil nafas!
Pria albino itu kembali menggempur mulutnya lebih intens. Lidah Mafumafu beradu dengan miliknya, yang pada akhirnya si albino berhasil mendominasi situasi intens itu. Saliva pun lolos membanjiri permukaan dagu sang raven, Membuatnya semakin tidak berdaya.
Sementara tangan kirinya masih menggenggam erat kedua pipi tembam Soraru, tangan satunya lagi yang masih berada di dalam sweater berperan untuk merangkul erat pinggang sang raven ke dalam dekapannya.
"Nghhh-!! Mmfh, ahh...! Mnnhh- hungguhh–!! Mfuuh–hmmhh...!"
Entah sampai kapan Soraru harus terjebak di dalam siksaan ini. Pandangannya mengabur akibat air mata yang terbendung di kelopak matanya. Kedua kakinya pun lemas untuk sekadar berdiri. Hingga ketika ia tak mampu menjaga keseimbangannya, tangan kokoh Mafumafu setia menahannya untuk tetap tegak.
Suasana panas itu berlangsung selama sekian menit hingga kedua pihak akhirnya memutuskan untuk mengakhiri ciuman itu. Benang saliva saling terpaut pada bibir mereka, disertai nafas yang tersengal-sengal.
Pandangan yang tertera dihadapannya membuat Mafumafu terpana. Sosok Soraru yang kini dikendalikan libido terengah-engah dan matanya yang berkaca-kaca. Surai raven-nya pun ikut berantakan, membuat penampilan pria itu terlihat begitu kacau.
Kalau begini siapa yang tidak tahan?
"Mhh..."
Sadar bahwa tangan kiri Mafumafu masih meraba area tubuh bawahnya, Soraru kembali protes dengan melemparkan tatapan tajam. "... kau benar-benar menyebalkan, tahu."
Mafumafu tersenyum sinis, mengabaikan keluhan sang raven, "Sampai kau mau menebus kesalahanmu, jangan harap aku akan membiarkanmu tidur malam ini."
"H-hah?? Tunggu, aku belum siap–!"
Ah, ini akan menjadi malam yang sangat panjang bagi mereka berdua...
-
-
-
"Hahh...! Nggh, ahn...!"
Tunggu dulu, ini terlalu berlebihan!
Kini Soraru terjebak di dalam kungkungan hewan buas yang begitu lahap mengigit jenjang lehernya hingga area tersebut merah membekas. Taringnya tertanam dalam ke dalam kulitnya, membuat darah sedikit mencuat keluar dari area luka. Ketika satu tanda lagi selesai dibuat, Mafumafu akan memberikan kecupan singkat di area itu seperti yang biasa ia lakukan.
Masih belum puas, pria albino itu kembali menjamah badannya, menjilat dari tulang selangka hingga akhirnya tiba di kedua pucuk dadanya yang merah mekar. Tak habis-habis Mafumafu mulai mencakar, melumat, lalu mengigit pucuknya beringas.
"A-ahh!! Bodoh, jangan kuat-kuat...!!" Jerit Soraru, berusaha menyingkirkan kepala si albino dari dadanya dengan kedua tangan.
Lagi-lagi permintaan itu tak digubris. Justru lidah pria albino itu malah beralih pada pucuk di sebelahnya, mengulangi hal yang sama. Kali ini, jemarinya ikut membelai pucuk sebelumnya. Menyalurkan sengatan gairah yang berlipat ganda lewat kedua pucuk dadanya yang tampak membesar lantaran sering dimainkan oleh albino brengsek di atasnya.
"Ukh, c-cukup...!!" Pun Soraru juga tak kalah ganasnya menghentikan aksi pria albino. Tangan kirinya menjambak keras poni putih si albino kuat, memberikan sinyal untuk berhenti.
Mafumafu akhirnya melepaskan gigitannya, beralih untuk menatap wajah sang kekasih yang merah padam. Tatapan lembut yang biasa ia tunjukkan kini tak lagi tampil di wajahnya yang dihiasi barcode di pipi kiri itu. Hanya sepasang manik crimson yang tajam mengamati mangsanya yang tak berdaya.
"Aku tidak akan berhenti," Ujarnya. "Sama seperti kau yang tak mau mendengarkanku selama ini."
"Maksudm-mmffh—!!" Tangannya mencengkram dagu sang raven, memaksanya mendongak ke atas. Lalu tangan yang satu lagi memaksa jemarinya masuk ke dalam mulut basah sang raven, membalutinya dengan saliva. Mengobrak-abrik hingga tiba di rongga mulutnya, memblokir akses sang raven untuk sekadar bersuara.
Beruntung, Mafumafu yang tak sabaran langsung mengeluarkan jemarinya sekian detik kemudian. Cukup untuk membuat selaput sebagai bahan pelumasnya nanti.
Tak memberikan kesempatan bagi Soraru untuk bereaksi, Mafumafu lantas membalikkan badannya dan melorotkan celana serta dalaman yang masih dikenakan sang raven di bagian bawah tubuhnya. Begitu semua pakaian Soraru dicampakkan begitu saja ke lantai, pria albino itu langsung menyodokkan jarinya pada lubang anal yang menganga tersebut, dibarengi tamparan keras di bokongnya.
"Hkk—!!??" Sang raven terlonjak kaget, sontak menolehkan pandangannya pada tangan kanan Mafumafu yang berusaha menggempur lubangnya kasar. "A-ahh?! T-tunggu! P-pelan-pelan~!!"
"Aku tahu apa yang aku lakukan, kok," Sanggah Mafumafu, masih dengan pandangan terpaku pada jemarinya yang menjelajah mencari titik nikmat di dalam sana. Sementara tangan yang lain menahan kepala Soraru agar tetap rebah di sprei kasur.
Wajah rupawan itu mendekat ke daun telinga sang raven, membisikkan kalimat lembut dengan suara berat andalannya. "Kau hanya perlu diam dan nikmati."
"Ukh...! Kau sama sekali tak membantu apa-apa— ngahh~!!"
Bohong jika Soraru tidak menikmatinya.
Setiap hantaman dari jemari tajam yang membobol lubangnya seolah menyuntikkan euforia ke dalam tubuhnya. Jujur, ia menyukai bagaimana sang albino memanjakan lubangnya yang sempit dengan begitu lihai, padahal sudah dipakai olehnya berkali-kali.
Begitu jemari pria itu menggesek-gesek titik nikmatnya, tubuhnya yang bergejolak oleh nafsu itu memegang seketika. Racauan keras yang samar lolos dari bibirnya kala titiknya disodok semakin kencang. Bahkan, bokongnya pun sekilas bergerak mengikuti ritme hentakan tersebut, diikuti dengan lubangnya yang semakin kuat mengapit jemari si albino yang terjebak di dalam.
Tunggu dulu. Siapa yang sebenarnya menikmati ini?
Sayang, ia masih belum dapat menyaksikan barang kebanggaan Mafumafu yang masih diselimuti dibalik boxer, menjadikannya satu-satunya pakaian yang masih pria itu kenakan.
"Hngghhh..."
Ah, tahu-tahu ia sudah mencapai klimaksnya, mengotori sprei di bawahnya dengan cairan birahinya. Ini hampir kelima kalinya bulan ini, mengapa mereka sampai serajin itu mencuci sprei akhir-akhir ini?
"Wah, dengan jariku saja sudah basah begini. Apa kabar dengan yang nanti, ya?" Celetuk Mafumafu terkekeh pelan, tangannya yang bebas kembali menampar bokong semok sang raven, membuat area yang ditampar sekilas bergoyang-goyang saking empuknya.
"Nghh, b-berisik...! K-kau sendiri yang, kelamaan...!!"
"Lantas kau mau aku harus bagaimana?"
Ahh, sungguh. Soraru akan menyesal pernah mengatakan hal ini.
"Ma-masukin saja...! Ah! A-aku nggak pedulihhh~!!"
"Yakin? Jangan berharap aku akan lembut padamu."
Jemari tajam si albino pun perlahan ditarik keluar, menyisakan lubang tersebut dalam keadaan menganga lebar. Jejak kehangatan yang ditinggalkan pun kian memudar begitu dinginnya udara hampa masuk lewat lubangnya, memberikan sensasi sejuk yang membuat Soraru menggigil sekilas.
Namun seperti ucapannya, Mafumafu tidak akan memilih cara aman.
"Hyaa~!?"
Astaga, benda besar apa itu yang menggesek-gesek bibir lubangnya sekarang?! Bahkan tanpa melihat ke belakang pun Soraru bisa merasakan tekstur kulit yang hangat perlahan masuk ke dalam lubangnya. Ahh, lagi-lagi pria albino itu sengaja menguji kesabarannya lagi.
"Ugh, Mafumafu...!"
"Sabar, sayang~ wah, ada yang sudah tidak sabaran ternyata."
"Nggak usah pake ngomong segala...!"
Dalam sekejap, sebuah tendangan bebas hampir saja mengenai dagu Mafumafu jika ia tidak sempat menghindar. Justru, Mafumafu menggunakan kesempatan itu untuk menangkap kaki Soraru dan melebarkannya, dimana ia bisa mengamati lubang yang menanga di hadapannya.
"Hei, kasar sekali," jawab Mafumafu. "Tapi tampaknya kau sudah siap, ya... Aku tidak akan ragu kali ini."
Tanpa aba-aba, pria albino itu langsung mendobrak masuk penisnya ke dalam lubang sempit itu. Menyelimuti setengah dari barangnya yang besar itu dengan kulit porselen tersebut. Aneh, meski sudah berkali-kali pun, lubang sempit Soraru hanya mampu muat sampai segitu. Namun, itu sudah cukup membuat sang raven meronta.
"AHHHH!!" Pekik Soraru tiba-tiba, setetes air mata lolos dari kedua matanya yang berkaca-kaca. Denyutan keras yang menyengat di anusnya membuat tenaganya lumpuh seketika, cengkraman tangan di sprei kasur kembali melemah. "Ugh, mmh... t-tunggu– AHH!!"
Nihil. Pria albino itu tetap melanjutkan sentakannya brutal, mendorong masuk miliknya yang besar di dalam. Ah, bahkan benda itu kembali merobek luka lama yang bahkan belum sepenuhnya sembuh. Soraru takut jika yang nanti keluar bukan hanya air mani saja dari dalam sana.
Namun peduli apa? Rasa sakit itu bukan apa-apanya dibanding nikmatnya seks saat ini.
"O-ohh! D-disitu~!! Hah..!! T-terus, Mafuma-AH! Mmh! Terusinnhh...!!"
Begitu barang si albino sudah tiba di titik nikmatnya, semakin kencang pula pinggulnya bergerak. Kedua tangan kekarnya mencengkram bokong semok Soraru erat, menjadikannya sebagai tumpuan. Sekilas, senyuman terukir di wajah barcode-nya kala menyimak lantunan birahi yang sang raven yang semakin meningkatkan performanya.
"Heh, siapa yang malah ketagihan sekarang?" Ujar Mafumafu, perlahan membungkukkan badannya untuk mencium lembut tengkuk sang raven. Perlahan kecupan kecil tersebut turun ke bahu, hingga tulang punggung porselen itu dan kembali naik ke atas. Sifat lembut yang sangat bertolak belakang dengan tubuh bagian bawahnya yang masih menghajar brutal lubang sang raven.
Soraru kembali meracau tidak jelas. Mulutnya menanga lebar sepanjang kegiatan itu. Kepalanya menoleh ke belakang dimana ia bisa melihat wajah rupawan sang kekasih. Wajahnya seketika menerjang maju, membungkam bibir si albino dengan bibirnya. Entah darimana keberanian itu berasal.
Jelas Mafumafu terkejut. Jarang sekali ia melihat Soraru yang dikendalikan oleh libido tampak begitu berani. Lidah keduanya kembali berebut antara siapa yang mendominasi. Di sela ciuman penuh gairah itu, kini milik Mafumafu sudah tiba ke ujung rektumnya, kembali memanjakan area itu lebih ganas.
"AH!!" Soraru tiba-tiba melepaskan diri dari ciuman itu, kepalanya terbanting pada bantal di bawahnya spontan. Air mata mengalir deras mengaburkan pandangannya. Entah karena sakit atau nikmat, ia tidak peduli. Sentakan kuat di lubangnya malah semakin meningkatkan euforianya.
"Ahn-AH!! Yahh! Ma-fuhh! Sa-sayang! Sayang... Nggh! Terus, disituhh..!! Ah! Aku mau–!!"
Ahh, Mafumafu tak tahan. Sial, manis sekali! Bahkan memanggilnya dengan sebutan 'sayang'? Soraru yang jujur memang selalu menjadi yang terbaik!
Tubuh Soraru mulai gemetaran hebat lantaran hendak mengalami ejakulasi. Dengan reflek, kedua lengan Mafumafu memeluknya dari belakang, membelai lembut punggung porselen itu sembari berusaha menenangkannya. Sementara itu, gerakan miliknya perlahan melambat di dalam sana. Tampaknya pria itu juga akan melakukan hal yang sama.
"A-ahhhn~!"
Soraru keluar pertama, kembali membasahi sprei di bawahnya dengan cairan yang sama. Di saat yang bersamaan pula, Mafumafu juga menyuntikkan benih-benih birahinya ke dalam rektum sang raven, mengisi rongga tersebut dengan cairan putih lengket. Begitu semuanya sudah dikeluarkan, perlahan pria albino itu membalikkan tubuh sang raven agar mereka saling berhadapan.
Gawat, rupanya ia malah kebablasan.
Kini ia menyaksikan sang kekasih yang terkapar tak berdaya di bawahnya. Dadanya yang tak ditutupi sehelai benang pun naik turun dengan sekujur tubuh porselennya yang dihiasi tanda kemerahan. Kedua pahanya tampak saling menggesek berusaha menyembunyikan area privatnya yang lengket oleh benih birahinya.
Yang paling parah, adalah wajahnya yang basah oleh air mata. Mulutnya yang menjulurkan lidah itu terus mengalirkan saliva yang deras, serta pandangannya yang kini mendongak ke atas, menampilkan setengah manik safirnya yang terangkat.
"Hnghh..." Manik safir Soraru perlahan tertuju padanya, memperhatikan sang kekasih dengan tatapan sayu. Kedua tangannya terangkat, menyeret pria albino itu ke dalam pelukan.
"Uwah–!" Mafumafu terbelalak kaget, sadar bahwa dirinya saat ini menimpa sang raven di bawahnya. Anehnya, Soraru tak begitu keberatan dan malah mengeratkan pelukannya. Akhirnya dengan ragu-ragu, Mafumafu membalas dekapannya sambil membelai punggung porselen itu lembut.
Ah, ia baru ingat barangnya masih terjepit di dalam sana.
"Hah... Sudah cukup?" Ujar Mafumafu, mengusap wajah basah Soraru dengan tangannya. "Ingat. Kita masih ada kerjaan, loh. Sini, biar kubersihkan badanmu dulu."
"Hngg...!!" Soraru langsung menggeleng, malah semakin mengalungkan tangannya pada punggung si albino. "Kalau begitu, ambil cuti saja buat hari ini."
"Eh? Tapi kita ada jadwal nanti siang–"
"Nggak mau...! Mau Mafumafu..."
"Hah? Segini masih belum cukup? Ini sudah kelima kalinya bulan ini...!"
Semakin merajuk pula raut wajah Soraru. Tak kunjung mendapat apa yang ia inginkan, pria raven itu iseng menggerakkan pinggulnya dan mengapit barang Mafumafu yang masih terjebak di sana.
"Ah– shh...! Soraru-san, jangan begitu–!"
"Hngg... Kalau Mafumafu nolak, aku bakal merokok terus seumur hidup."
"Ukh, mana bisa begitu...!"
"Tapi kau aslinya mau, kan?" Goda Soraru, tangannya sedikit menarik wajah sang albino agar ia bisa berbisik di telinganya. "Ayo, sayang~ selagi masih ada kesempatan, loh~"
Haish, mengapa ia merasa barang kebanggaannya kembali tegak di dalam sana?
Menatap kembali wajah Soraru yang kini tampak begitu sumringah, Mafumafu hanya menghela nafas berat sembari memposisikan barangnya kembali di dalam lubangnya. Kedua tangannya mengunci erat tangan sang kekasih di kasur. "...Jangan salahkan aku jika kau tidak bisa jalan nanti."
Kegiatan bergairah itu berlangsung hingga 4 ronde, diakhiri dengan Soraru yang mendadak tertidur di akhir ronde. Meninggalkan Mafumafu yang kelelahan lantaran yang paling banyak bergerak sepanjang waktu.
Memperbaiki selimut yang menutupi tubuh Soraru, Mafumafu duduk santai di pojok kasur. Ia mengamati wajahnya sejenak, tampak begitu damai meski tubuh bawahnya baru saja nyaris dibuat lumpuh oleh Mafumafu. Nafasnya tampak begitu teratur sepanjang lelapnya.
Ahh, padahal niatnya ia cuma ingin memberi Soraru pelajaran agar berhenti merokok. Kenapa malah dia yang jadi kewalahan??
Mafumafu mengamati meja nakas di sebelah kasur, dimana sepasang manik crimson-nya terpaku pada sebuah jam digital yang menunjukkan pukul 4:35. Lagi-lagi, mereka kelewatan waktu tidur. Aneh sekali, Mafumafu merasa masih berada di akhir pekan, meski ia sadar bahwa sebentar lagi ia sudah harus bersiap-siap kerja. Dan entah mengapa tubuhnya malas sekali untuk bergerak.
Merasa tak ada lagi hal yang bisa ia lakukan, pandangan Mafumafu tertuju pada sebatang rokok yang tergeletak di samping asbak. Entah darimana bisikan sesat itu muncul untuk menggodanya mencoba hal yang ia yakini sebagai racun itu.
Serius, ia tidak habis pikir. Memang senikmat apa sih rokok itu?
Untuk memastikan, Mafumafu kembali mengamati wajah Soraru sekilas. Merasa sudah aman, ia ragu-ragu mengambil sebungkus rokok tersebut beserta pemantik api. Mengambil satu batang, diam-diam Mafumafu mengarahkan pemantik api ke mulutnya dan menyalakan rokok tersebut.
"UHUK–!!"
Pahit. Jijik. Rasanya sama seperti makanan gosong hasil eksperimen masaknya. Mulutnya terasa terbakar dalam sekali hisap. Dan bisa-bisanya Soraru kecanduan dengan sampah ini.
Segera ia mematikan rokok tersebut pada asbak sebelum baunya menyeruak kemana-mana. Pria albino itu terbatuk sejenak untuk meredakan tenggorokannya. Sumpah, ia takkan pernah terbiasa dengan ini.
"Uhuk– uhuk...!!"
Baru saja Mafumafu hendak beranjak untuk mengambil minum ketika suara batuk Soraru terdengar hingga beberapa kali. Suara yang dihasilkan kali ini terdengar lebih serak dan dalam, yang kemudian mereda digantikan dengkuran halusnya. Lagi-lagi , keliatan sekali pria itu lalai meminum obat.
"Hah..."
Pada akhirnya, Mafumafu memutuskan untuk tetap duduk di ujung kasur, menemani si pangeran tidur degil yang terbungkus oleh selimut sembari menunggu kehadiran sang mentari.
--------------------
But it's you~ you're the all that I want~
You~ you're the all that– fokus anying.
Asli. Ini first time gw bisa selesai ngetik genre beginian. Agak kacau, ya? Wkwkwk g sadar gue udah ngetik sampai 3K buat ginian. Awalnya mau selesai seminggu lalu, tapi ya... Gw ngilu ngetiknya di tengah jalanπ
No comment lah gue abis ni, btw sorry kelamaan. Illustrasi nyusul ntarπ
-July 2025
Komentar
Posting Komentar