As Another Morning Comes,
(Biar estetik awikwokwk, ntar gue ganti sih :v)
Source: Link Click (Lofter)
-----------------
Sinarnya mentari yang menyambut pagi menembus lewat pantulan kaca yang terpasang di antara dinding, memenuhi setiap sudut rumah dengan cahaya alami meski lampu yang tergantung masih belum dimatikan sepenuhnya. 
Namun kali ini, ada sesuatu yang membuat hari itu berbeda dari yang biasanya.
"Loh, tumben banget? Pagi-pagi sudah lengkap dengan seragam, memang kau lagi sibuk apa?" 
Soraru yang baru saja tiba di ruang tengah dengan secangkir kopi mendapati suaminya yang kini telah bersiap-siap dengan seragam tentara barunya, wajahnya begitu serius ketika menata-nata rambutnya di hadapan cermin. Gelagatnya yang kadang tak bisa ditebak itu sungguh membuatnya terheran-heran, "padahal pelatihan tentara masih 3 bulan lagi, tahu..."
Begitu sepasang manik crimson itu menoleh, ia dengan sumringah menyambut kehadiran sang raven, "oh, pagi Soraru-san! Tadi malam aku melihat di televisi kalau tampang yang keren kayak jenderal-jenderal bisa membuat kita menjadi gagah dan percaya diri, dijamin ampuh, deh!!"
Hah, yang benar saja. Sudah dewasa masih saja tertipu dengan stigma televisi.
Masih tak memberikan Soraru kesempatan untuk merespon, Mafumafu berjalan mendekat seraya memamerkan gaya rambut barunya, "jadi menurutmu bagaimana? Aku jadi ganteng, nggak?"
"Nggak ah, kayak pelayan kakek-kakek. Lebih jelek yang ini malah," balas Soraru ketus, sontak menyebabkan raut wajah Mafumafu berubah menjadi kekecewaan, "yahh!! Kok begitu!? Memangnya apa yang salah!?"
Soraru mulai merenung sejenak, mengamati setiap sudut wajah pria albino itu lekat seperti sedang menilai penampilannya. Tak lama waktu lama untuk ia mengeluarkan kritikan pedas andalannya, "menurutku, arah sisiranmu nggak jelas, tuh ada yang jatuh-jatuh poninya. Rambutmu kebanyakan pakai gel, nanti bau kalau ditutup pakai topi, loh. Terus, topimu juga mereng sebelah kanan. Kau itu dari tadi melihat ke cermin lagi lihat apaan, sih?"
Lihatlah, pria albino yang tercengang itu kini sudah terpojok dengan berbagai tamparan realita yang keluar dari mulutnya. Huh, bahkan senjata bermodalkan mulut saja lebih ampuh mengguncang mentalnya dibanding stigma televisi tadi malam. Bagaimana nanti kalau mau terjun langsung ke medan perang?
Semakin murung pula wajah Mafumafu setelahnya, tangannya dengan lesu mengangkat topi dan hendak merubah gaya rambutnya kembali seperti semula, "yahh, berarti Soraru-san bilang aku tetap jelek kalau tampil begini, ya...? Yasudahlah, aku kembali ke gaya rambut awal aja-"
"Tunggu," sontak Soraru langsung menahan tangan kokoh itu bahkan sebelum jarinya mulai mengacak-acak rambut putihnya. Mafumafu hanya bisa mengerjapkan matanya bingung kala sang istri mulai menampung pipinya dengan kedua tangan mungilnya, "aku nggak bilang kamu nggak boleh mencoba gaya rambut baru, loh. Kalau dirapihkan sedikit, pasti bakal lebih bagus."
"Dirapihkan... seperti apa?"
"Makanya, ayo ikut," ujar Soraru tersenyum simpul. Tangannya lekas menggandeng tangan sang suami seraya membimbingnya masuk ke dalam kamar. Masih tak memberikan kesempatan bagi si albino untuk bereaksi, Soraru lantas menyuruhnya duduk di meja rias miliknya, menghadapkan sang albino dengan cermin yang memantulkan gambar mereka berdua. 
"Bentar, Soraru-san mau ngapain?" Mafumafu tersentak sejenak, menoleh pada si raven yang kini tengah menyiapkan peralatan di sekitar meja. Pria cantik itu menepuk kedua pundaknya pelan, memberikan senyuman manis yang kelak akan membuat Mafumafu menyesali keputusan hidupnya, "udah, tenang aja. Hanya sedikit merapikan, kok."
"Sedikitnya itu kayak gima– AKHH PELAN-PELAN SISIRNYA DONG!!"
Whoops, nampaknya ada sedikit kekuatan dendam pribadi yang belum tertuntaskan pada si albino. 
"Oh, terlalu keras ya?" Soraru memiringkan kepalanya mengecek kondisi raut wajah Mafumafu, dengan tangan yang masih menyisir rambut putihnya, "ya, maaf. Salah sendiri nggak sering keramas pas mandi."
"Itu kan soal efisiensi waktu– AHH, ADUH DUH!! SORARU-SAN SAKIT–!!" Namun semakin keras tekanan yang diberikan, semakin berisik pula si albino itu berceloteh. Ada kalanya tangannya ikut memberontak mencoba menghentikan gerakan sang istri. 
Duh, bagaimana Soraru tak bisa menahan diri untuk mencubit gemas pria tampan di hadapannya ini?
"Shh, coba diam dulu," pinta Soraru mengembalikan posisi duduk Mafumafu menjadi tegak. Kali ini, tangan lentiknya perlahan menyisir surai putihnya ke belakang. Ada kalanya Soraru menyadari kerutan sekilas di dahi sang suami dari cermin, namun ia kembali fokus pada kegiatannya dan tak berkomentar apa-apa selama itu.
"Dan.... Selesai," ujar Soraru menghentikan gerakan menyisirnya, mempersembahkan sang albino dengan model rambut yang lain versi sang raven. Mafumafu mengerjapkan matanya sejenak, tak butuh waktu lama bagi dia untuk merona sekilas kala menyadari model rambut tersebut,  "Tunggu dulu, ini bukannya... Model rambut pas waktu kita menikah dulu, kan?"
"Dan kau masih berhutang tagihan restoran dinner padaku dengan model rambut itu," terang Soraru mempertahankan senyuman manisnya, "biar kamu selalu ingat buat lunasi hutang sampai bertugas nanti."
"Hei, aku kan sudah bayar dengan mengajakmu liburan bulan lalu, loh..." Keluh Mafumafu, meski begitu seukir senyuman pasrah terbentuk di sudut bibirnya, "kok Soraru-san tiba-tiba jago banget soal model rambut?"
"Yah, kebetulan subjek kajian studio minggu lalu adalah tempat salon yang sedang naik daun di kota," Jawab Soraru mengayun-ayunkan sisir di tangannya, "saat istirahat, pemilik salon sempat menawari staff untuk mencoba model rambut baru mereka. Aku juga ikut, sekalian mengamati, sih."
"Ohh, berarti Soraru-san ikutan nyoba juga, ya?" ucap Mafumafu antusias, jemari telunjuknya terangkat untuk memainkan poni raven Soraru yang kini tampak lebih bergelombang, "pantes rasanya jadi terlihat lebih cantik, ya."
Aih, manis sekali mulutnya dengan senyuman yang tak kalah bersinarnya. Rasanya Soraru ingin menyumbatnya dengan botol parfum di mulut si buaya albino yang tak tahu malu ini.
"Ah, begitu ya," balas Soraru mengibaskan rambut raven-nya dengan jemarinya. Ketika pandangannya tertuju pada topi tentara yang tergeletak di pojok meja rias, tangannya lantas meraihnya. Tak lama kemudian Soraru memanggil sang albino yang sibuk menggelengkan kepalanya mengamati gaya rambut barunya, "Mafumafu, coba diam bentar."
Begitu tatapan crimson-nya mengarah pada topi di tangan sang istri, Mafumafu langsung menegakkan duduknya. Membiarkan Soraru perlahan-lahan memasangkan topi tentara pada kepala sang albino. Kadang jemari sang raven sedikit mengguncang sudut topi agar tetap terlihat lurus–atau itu yang setidaknya ia lihat di cermin. Hingga akhirnya ketika ujung topinya dibenarkan, tampak dengan jelas figur seorang tentara albino dengan ekspresi kaku seolah siap bertempur.
"Uwahhh..." Gumam Mafumafu bangkit dari duduknya, terpana dengan hasil dari sedikit revisi oleh sang terkasih, "jujur saja, ini malah lebih keren dari yang tadi..."
"Kan?" Senyuman bangga terukir di wajah Soraru, pandangannya kali ini fokus pada seragam sang albino sambil merapikannya dengan kedua tangan. "Makanya kalau nggak bisa sisir mending jangan cari– ih!! Baru juga kurapikan kenapa kamu keluarin sih rambutnya...?!"
"Loh, ini yang keluar sendiri kok," sanggah Mafumafu memainkan helaian poni putihnya yang dari tidak ditahan oleh topi tentaranya, "tapi dipikir-pikir, Soraru-san kok bisa kepikiran sama model rambut ini?"
"Itu..." Sekilas kedua pipi tembam sang raven mulai merona, terdiam sejenak untuk memikirkan jawaban yang tepat. Ia berdehem pelan menyegarkan tenggorokan, bibirnya bergerak mengeluarkan suara yang sangat pelan, "...kau kan punya gayamu sendiri, kenapa harus banget ikuti gaya rambut orang lain...?"
"Apa, tuh? Nggak dengar," sudah ia duga Mafumafu akan langsung mendekatkan wajahnya untuk mendengarkannya lebih dekat. Ugh, sepertinya ia sedikit menyesal memilih model rambut ini. Hatinya belum siap menatap wajah tampan sialan itu!
"Kubilang jangan norak, udah!" Tegas Soraru sambil menjauhkan wajah sang suami dengan telapak tangannya, membuat jarak di antara mereka berdua. Pandangannya langsung beralih menghindari kontak mata dengan kedua lengannya terlipat di dada, "lagian, model rambut itu cuma boros-boros! Ngapain coba urusin penampilan, situ mau berperang apa mau merayu musuh? Ada-ada saja..."
"Ah, iya sih..." Mafumafu tersenyum canggung, bingung hendak memberikan respon seperti apa untuk menjawab argumen sang istri. 
Padahal dia sendiri yang repot-repot menghiasinya sampai begini...
Lagipula, Mafumafu tak ingin memanas-manasi situasi hanya karena ego semata sang raven. Pria itu hanya menyibak poni Soraru, lalu menundukkan wajah untuk mengecup keningnya sekilas. Tak luput dengan kalimat "terimakasih" yang terucap dari senyumnya.
Seperti biasa, sang raven tak mampu bergeming dengan semburat merah yang perlahan mendominasi wajahnya. Namun pria itu berusaha menutupi dengan berdehem pelan, kepalan tangannya menutupi bibirnya yang berusaha menahan senyum, "ya, ini semua karena kamu yang tiba-tiba mau coba bergaya, kan..."
"Tapi kamu mau dandan sampai segininya, siapa yang nggak senang coba?" Mafumafu terkekeh kecil dan mengarahkan pandangannya pada cermin sekilas, "ternyata malah lebih bagus yang model ini, ya."
Entah reaksi seperti apa yang harus ia tunjukkan pada sang pria di hadapannya. Betapa polosnya tawa dan senyuman itu dengan penampilan yang sama sekali bertolak belakang membuatnya geli dengan kekonyolan kecil yang menyinari hari.
Rasanya Soraru ingin momen-momen bahagia itu berlangsung selamanya. Terlepas dari fakta bahwa akan tiba suatu hari nanti ketika Mafumafu beranjak dari rumah demi suatu kewajiban yang mulia, Soraru ingin menghabiskan sisa-sisa waktu tersebut dengan berbagi momen berharga bersama sang pujaan hati.
Ah, sudah berapa lama terakhir kali ia mendengar suaranya?
"Hng..."
Dibangunkan oleh sinar mentari baru yang masuk melalui jendela, dan kamar yang masih gelap gulita lantaran terputusnya aliran listrik akibat perang. Namun, tak ada kehangatan yang menyambut di sana. Hanya keheningan yang menjadi selimutnya saat itu. 
Di momen itulah, sang raven kini terpaksa menghadapi realita. 
Sang albino tak hadir lagi di sini.
Sadar bahwa ia lagi-lagi tertidur di meja rias, pria itu mendongakkan kepalanya perlahan. Pandangannya yang nanar mengamati permukaan meja riasnya yang kini terporak-poranda dengan segala benda yang tergeletak sembarangan, sebagian dari mereka bahkan terjatuh ke lantai. Ah, ia melakukannya lagi ya...
Sempat termenung sejenak, Soraru seolah mendapatkan kembali kesadarannya begitu ia mengarahkan pandangannya pada cermin. Di balik setiap pecahan, ada sosok yang berpenampilan kacau menatap pasrah dirinya yang tak lagi sama seperti dahulu. Mata sapphire itu tak lagi bersinar indah, hanya merah yang menghiasi sepasang mata tersebut. Jejak air mata tampak membekas di wajahnya, bahkan ada satu tetes yang lolos dari mata kanannya.
Begitu pula dengan rambutnya yang kini tampak acak-acakan dan tak terawat. Ah, padahal dirinya yang dulu begitu semangat ketika bersangkutan soal penampilan, apalagi jika itu untuk sang kekasih. Ke mana semangat itu telah pergi?
"..." Bahkan Soraru tak dapat mengeluarkan sepeser pun suara lantaran akibat dari menangis keras sebelumnya. Lidahnya kelu, dan tenggorakannya menolak untuk berbicara. Percuma saja mengelak, kini ia tidak bisa pergi ke mana-mana. Dan Soraru paham akan satu hal.
Sosok buruk rupa yang ada di hadapannya tidak lain adalah dirinya sendiri.
...
Ah, begitu ya.
Setelah tidak menerima surat selama beberapa bulan, berita kekalahan perang dan prajurit-prajurit yang gugur, dan kini ia harus berteman dengan takdir? Hah, kenapa ia harus?
Mengapa Soraru harus merelakan sang kekasih yang menghilang tanpa kabar itu?
Bahkan permohonannya untuk mencari yang suami pun tak digubris oleh pihak yang berkuasa. Mereka selalu bilang satu kalimat yang sama– "mungkin ia sudah mati di medan perang." 
Bohong, dasar pembohong. 
Dasar kalian para babi sampah. 
Kalian tahu apa rasanya kehilangan seseorang yang berharga di hidup kalian? 
Bahkan kalian sendiri takut memegang senjata, mengapa kalian tega mengorbankan prajurit demi ideologi kolot kalian sendiri? Justru kalianlah pembunuh prajurit kalian sendiri.
Tak ada gunanya Soraru mengumpat para sampah itu jika dirinya hanya berdiam diri meratapi kepergian Mafumafu yang tak ada kabar itu. Bahkan jika ia masih terjebak di dalam keterpurukan, para babi itu akan berkeliaran bebas tanpa perlu memikul sepeserpun dosa di pundak mereka.
Di hari itu, Soraru telah membulatkan tekadnya. 
Bahwa ia akan mencari keadilan dengan caranya sendiri.
Mengambil gunting yang tergeletak di sebelah kanannya, Soraru menggunting rambut raven-nya yang menganggu pandangannya. Helai-helaian rambut menumpuk perlahan-lahan mengotori sekitar meja. Dan kini, sosok menyedihkan itu tak lagi terpampang di cermin. Digantikan oleh sosok yang berambut pendek dan penuh tekad dengan penampilan yang persis menyerupai sang kekasih yang hilang dibalik tragedi. 
Terserah jika orang lain menganggapnya bodoh atau semacamnya, atas dasar apa mereka harus menghentikannya bergerak maju? Mereka yang pengecut tidak berani melakukan apa yang akan Soraru lakukan. Sekalipun itu mengorbankan nyawa dan harga dirinya, keyakinannya fokus akan satu hal.
Mafumafu masih hidup, setidaknya di luar sana.
---------------------
As another morning comes, you're no longer around
I should have said that in the middle of the text, but oh well
-July 2025
Komentar
Posting Komentar